Iman Adalah Bersyahadat dan Iman Adalah Beriman Kepada Allah
BAGAIMANA MENGKOMPROMIKAN HADITS TENTANG IMAN ADALAH BERSYAHADAT DAN IMAN ADALAH BERIMAN KEPADA ALLAH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana kita mengkonfromikan antara hadits Jibril yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa iman adalah beriman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-KitabNya, Rasul-RasulNya, Hari Akhir dan Taqdir yang baik dan buruk, dengan hadits Wafd Abdul Qais yang di dalamnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman adalah bersyahadat bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah saja tanpa berbuat syirik kepadaNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menunaikan seperlima bagian harta ghanimah.
Jawaban.
Sebelum pertanyaan ini dijawab saya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya tidak akan pernah ada pertentangan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam Al-Qur’an tidak ada yang saling merusak antara ayat satu dengan ayat yang lain, demikian juga di dalam As-Sunnah. Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada sesuatupun yang tidak sesuai dengan kenyataan. Karena realita adalah benar, dan Al-Qur’an sunnah adalah benar juga, kebenaran tidak mungkin saling bertentangan. Jika kamu faham kaidah ini maka terjawablah segala musykilah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” [An-Nisaa/4 : 82]
Jika demikian, maka hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin saling bertentangan. Bila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang iman dengan suatu keterangan dan beliau menjelaskan di tempat lain dengan keterangan yang lain, dan menurut kamu bertentangan, maka jika kamu merenungkan, niscaya tidak akan terjadi pertentangan. Dalam hadits Jibril ‘alaihis salam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi dien menjadi tiga : Islam, Iman, Ihsan.
Sedangkn di dalam hadits Wafd Abdul Qais, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kecuali hanya satu, yaitu Islam. Islam ketika diucapkan secara mutlak termasuk didalamnya iman. Karena tidak mungkin melaksanakan syiar-syiar Islam kecuali orang beriman. Bila disebutkan Islam saja ini mencakup iman, dan bila disebut katan iman saja di dalamnya mencakup kata Islam. Namun bila disebut kedua-duanya, makna iman bermakna hal-hal yang berhubungan dengan hati sedangkan Islam bermakna amalan anggota badan. Ini adalah fungsi (istilah) penting, yang harus diketahui oleh thalibul’ ilmu (penuntut ilmu).
Maka kata Islam bila disebut sendirian, di dalamnya mencakup makna iman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” [Ali-Imran/3 : 19]
Hal yang sudah dimengerti bahwa Islam itu terdiri dari aqidah, iman dan syariat. Bila kata iman disebutkan sendirian mencakup di dalamnya makna Islam. Dan bila kata iman dan Islam disebutkan bersamaan, maka kata iman bermakna hal-hal yang berkaitan dengan hati dan kata Islam bermakna hal-hal yang berkaitan dengan amalan anggota badan. Oleh karena itu sebagian salaf berkata : Islam adalah hal-hal yang tampak dan iman adalah hal-hal yang tersembunyi. Karena ia di hati. Oleh karena itu bisa jadi kamu mendapati seorang munafiq yang melakukan shalat, bershadaqah dan puasa, maka ini adalah seorang muslim secara dhahir, bukan mu’min, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Di antara manusia ada yang mengatakan : “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman” [Al-Baqarah/2 : 8]
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1380-mengkompromikan-hadits-iman-adalah-bersyahadat-dan-iman-adalah-beriman-kepada-allah.html